Benarkah BMKG Bisa Memodifikasi Cuaca, Bagaimana Caranya?
[ad_1]
DUTA PONSEL, Batavia – DPR menyetujui tambahan anggaran Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebesar Rp 25 miliar pada APBN 2025. 2025. Tujuannya menyelesaikan perubahan iklim selama 40 hari dengan biaya Rp 22,09 miliar.
Modifikasi cuaca ini diperlukan untuk menghadapi dampak bencana hidrometeorologi ekstrem pada tahun 2025, kata Dwikorita Karnawati dalam rapat kerja anggaran bersama Komisi V DPR, Selasa, 17 September 2014.
Kalaupun mendapat tambahan dana, Dwikorita menyebut jumlah tersebut masih jauh dari kebutuhan modifikasi cuaca nasional secara keseluruhan yang sebelumnya diperkirakan Rp 700 miliar.
Sebagai langkah awal, BMKG akan melakukan pemetaan untuk menentukan wilayah yang memerlukan modifikasi cuaca. Modifikasi ini berupa penyebaran dataran garam di titik-titik tertentu, terutama di kawasan pertanian yang rentan terhadap cuaca ekstrem yang dapat memicu gagal panen.
Meski sulit mencegah sepenuhnya risiko curah hujan ekstrem, Dwikorita menyatakan modifikasi cuaca dapat membantu mengurangi dampak negatif curah hujan ekstrem pemicu bencana hidrometeorologi.
Bagaimana Cuaca BMKG Berubah?
Modifikasi cuaca merupakan suatu teknik intervensi pada atmosfer untuk mengubah pola cuaca. Sebuah pertanyaan dari berbagai penulis, salah satu metode yang paling umum benih awan atau penyemaian awan, dimana bahan kimia tertentu seperti perak iodida atau natrium klorida (garam) disebarkan ke awan dengan harapan dapat mempercepat proses pembentukan hujan.
Teknik ini juga dapat digunakan untuk mengurangi intensitas hujan di lapangan untuk mencegah banjir atau bencana hidrometeorologi lainnya.
Teknologi benih awan cenderung mengeksploitasi awan yang berpotensi menghasilkan hujan. Dalam perekonomian mereka beroperasi menggunakan kondensasi nuklir (nuklir) yang berkumpul mempercepat jatuhnya air di awan, sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya hujan.
Penyemaian ini dapat dilakukan dengan menggunakan pesawat terbang, drone, atau dari darat melalui jet roket yang menembakkan bahan kimia ke awan.
Iklan
Meski teknologi cuaca menawarkan berbagai manfaat, namun teknologi ini bukannya tanpa berbagai tantangan. Pertama, kesuksesan tidak selalu bisa dijamin. Sistem cuaca sangat kompleks, dan seringkali sulit untuk memprediksi hasil dari intervensi.
Kedua, terdapat kekhawatiran mengenai dampak lingkungan jangka panjang dari penggunaan bahan kimia seperti perak iodida, meskipun penelitian hanya menunjukkan dampak yang relatif kecil.
Ada juga masalah etika dan geopolitik seputar pengendalian cuaca. Misalnya, intervensi cuaca di satu negara dapat berdampak pada negara lain, terutama jika dilakukan melintasi batas negara.
Di Indonesia, teknologi perubahan iklim sering digunakan terutama untuk mengatasi permasalahan bencana seperti kebakaran hutan dan lahan (karhutla), banjir dan untuk menjaga pasokan air di kawasan pertanian.
BMKG bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) kerap melakukan operasi cuaca di wilayah yang rawan kebakaran hutan atau menghadapi musim kemarau panjang.
Sejak beberapa tahun terakhir, modifikasi cuaca juga dilakukan untuk menjaga stabilitas sektor pertanian, khususnya di kawasan sentra pangan yang rentan terhadap kekeringan atau cuaca ekstrem yang dapat mengganggu produktivitas tanaman pertanian.
Dengan meningkatnya frekuensi cuaca ekstrem akibat perubahan iklim, penggunaan teknologi ini diperkirakan akan semakin meningkat di masa depan.
MICHELLE GABRIELA | Inilah putra-putranya
Pilihan Redaksi: BMKG Pengubah Cuaca di Aceh, Prediksi Curah Hujan Ekstrem Akibat Gempa PON 21
[ad_2]
Terimakasih
Post Comment