Potensi Perampasan Lahan pada Proyek PSN Tebu dan Sawah di Merauke
[ad_1]
DUTA PONSEL, Batavia – Yayasan Warisan Bentala Rakyat – sebuah organisasi nirlaba yang bergerak di bidang lingkungan hidup dan perlindungan masyarakat adat – mengkritik kemajuan rencana pemerintah membangun Proyek Strategis Nasional (PSN) tanaman tebu dan pabrik bioetanol di Merauke; Papua Selatan. Program ini bertepatan dengan penyediaan lahan pertanian berupa sawah seluas 1,18 juta hektar.
Direktur Yayasan Heritage Bentala Rakyat, Franky Samperante mengatakan luas kedua proyek pemerintah tersebut mencapai 2,29 juta hektare. Traksi melintasi 19 dari 22 desa di Merauke. “Hal ini jelas membuktikan bahwa pemerintah telah mengambil keputusan dengan memberikan izin usaha untuk menghilangkan tanah adat,” kata Franky kepada Tempo, Sabtu, 21 September 2024.
Proyek penanaman tebu ini bermula ketika Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Anggaran Bioetanol Sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel). Aturan yang diteken pada 16 Juni 2023 itu mencakup tambahan lahan tebu seluas 700 ribu hektare. Setelah itu, Jokowi menunjuk Menteri Investasi yang saat itu menjabat Bahlil Lahadalia sebagai ketua gugus tugas di Merauke.
Luas lahan tebu yang dialokasikan mencapai 1,11 juta hektar, dialihkan ke wilayah Animha, Kurik, Malind, Tanah Miring, Jagebob dan lainnya. Sebagai prioritas pertama, Kementerian Investasi mulai membangun pabrik gula di Klaster 3 seluas 632 ribu hektare. Berisi 10 perusahaan yang menjadi 4 anggota konsorsium.
Menurut Angky, luas hutan alam di Klaster 3 mencapai 414 ribu hektare atau 655 persen luasnya. Sisanya sebesar 218 ribu hektare merupakan penggunaan lahan lain yang berisi pemukiman dan perkebunan masyarakat adat. Kawasan ini akan dibuka dan diubah menjadi pabrik tebu, pabrik bioetanol, dan pembangkit listrik.
Rencana kedua, Kementerian Pertanian dan Kementerian Pertahanan menyiapkan lahan seluas 1,18 juta hektar untuk padi. Lokasinya tersebar di lima liga di 15 negara. “Saat ini pemerintah sedang membangun jalan sepanjang 135,5 kilometer di distrik Ilwayab, Ngguti, Kaptel, dan Muting,” ujarnya.
Permasalahan muncul karena pemerintah memulai dua proyek besar tanpa konsultasi, musyawarah dan persetujuan terlebih dahulu dari masyarakat adat yang merupakan pemilik adat atas tanah tersebut. Pada titik ini, pemerintah menggunakan perusahaan, pasukan keamanan, dan sumber daya militer untuk menguasai lahan.
“Masyarakat mengganggu dan menggusur hutan, rawa dan wilayah luas milik masyarakat adat, kemudian hutan tersebut dirampas dan dijual ke luar negeri.” Hal ini terjadi di sejumlah desa di Kecamatan Tanah Miring dan Jagebob yang menjadi sorotan salah satu perusahaan di Klaster 3. Beberapa keluarga lanjut usia juga terpaksa menandatangani pelepasan tanah adatnya untuk pengembangan tebu.
Hal serupa juga terjadi di lembaga percetakan sawah. Franky mengatakan, pemerintah menggandeng perusahaan untuk membuka lahan seluas 13.500 hektar untuk membangun jalan dan mengaspal sawah. Dia menerbitkan proyek tanah tradisional di Ilwayab hingga Distrik Muting. Bahkan, proses pembukaan lahan tersebut dilakukan tanpa izin pemilik tanah adat. Proyek tersebut juga dikhawatirkan akan merusak situs keramat di Merauke.
***
Pembaca juga bisa menyaksikan perjalanan Tempo meliput dua proyek hijauan pakan ternak seluas 2,29 juta hektar di sini.
[ad_2]
Terimakasih
Post Comment